Pada mulanya adalah
benci, kemudian menjadi cinta, lalu menjelma menjadi rindu. Itu yang kurasakan
pada Gus Dur waktu itu. Setelah kebencianku pada Gus Dur meremuk, hatiku terus
melengking meneriakan namanya, “Bagaimana aku bisa menemuimu, Gus? Mencium
tanganmu, itu saja yang kuinginkan.”
Berbagai cara
kutempuh, tapi jasadku tak juga sanggup menggapai Gus Dur. Akhirnya, kuputuskan
setiap sebelum tidur mengirim al-Fatihah untuk Kyai itu. Berharap dalam mimpi,
dia mau menemuiku. Ya, biarkan alam mimpi yang mempertemukan kami berdua. Tak
banyak yang kuinginkan, hanya mencium tangan dan meminta maaf atas setiap
cacianku padanya.
Satu bulan, dua
bulan, tiga bulan, Gus Dur tak juga menjelang dalam mimpiku, padahal kangenku
sudah tak tertahankan. Akan tetapi, di hari ke 94 semenjak kuawali mengirim
surat al-Fatihah, Gus Dur akhirnya tiba dalam mimpi. Dan pada tulisan ini,
ingin kuceritakan kembali apa yang terjadi.
Tanpa didampingi
siapa pun, Gus Dur dan aku bertemu di warung nasi depan kampusku. Pakaian batik
dan sarung membungkus tubuhnya, peci yang miring serta kacamata tebalnya
melengkapi kediriannya. Dialog yang bagiku aneh pun terjadi. Aneh karena
perbincangan kami kesana kemari, tak jelas arahnya.
Gus Dur : “Sebenar
apa pun tingkahmu, sebaik apapun prilaku hidupmu, kebencian dari manusia itu
pasti ada. Jadi jangan terlalu diambil pusing. Terus saja jalan.!”
Mughni : “Iya,
Gus. Tapi..”
Gus Dur : “Bagaimana
tidak repot, hidupmu terlalu banyak ‘tapi’.!”
Mughni : “Hehehehe..”
Gus Dur : “Apa
kamu kenal Wa Totoh? Maksud saya KH. Totoh Ghozali.”
Mughni : “Disebut
kenal ya tidak, tapi saya sering mendengar ceramah-ceramahnya di Radio.”
Gus Dur : “Belajarlah
kamu kepadanya, bagaimana memurnikan tauhid masyarakat. Dia menggunakan bahasa
lokal sebagai senjatanya, memakai humor cerdas tanpa hina dan caci.”
Mughni : “Baik,
Gus, kalau itu perintah Panjenengan.”
Gus Dur : “Ini
bukan perintah, ini memang sesuatu yang seharusnya kamu lakukan sebagai Da’i.”
Mughni : “Laksanakan.”
Gus Dur : “Kamu
suka menulis?”
Mughni : “Tidak,
Gus, tulisan saya buruk sekali. Saya coba menulis puisi atau cerita pendek,
tapi benar-benar buruk hasilnya.”
Gus Dur : “Rupanya
kamu belum pernah dilukai seorang wanita, makanya tulisan kamu tidak bagus.”
Mughni : “Lha,
Panjenengan tau darimana kalau saya belum pernah dilukai wanita?”
Gus Dur : “Ya itu
tadi, karya sastramu buruk sekali.”
Mughni : “Hmmmmm..”
Gus Dur : “Kamu
pernah pesantren?”
Mughni : “Pernah,
Gus.”
Gus Dur : “Dimana?”
Mughni : “Di
Al-Falah sama di Al-Musaddadiyah.”
Gus Dur : “Rupanya
kamu Santri Kyai Syahid sama Kyai Musaddad.”
Mughni : “Iya.”
Gus Dur : “Saya
juga sering bersilaturahmi ke beliau-beliau itu. Mereka salah satu penjaga
Islam Ahlussunnah wal Jama’ah.”
Mughni : “Ketika
jadi Santri, saya nakal sekali. Saya merasa malu kepada beliau-beliau itu,
Gus.”
Gus Dur : “Saya
beritahu kamu, kebaikan seorang Santri tidak dilihat ketika dia berada di
Pondok, melainkan setelah dia menjadi alumni. Kamu tinggal buktikan hari ini,
bahwa kamu adalah santri yang baik.”
Mughni : “Terima
kasih, Gus.”
Gus Dur : “Dunia
tanpa pesantren, bagi saya adalah siksa. Bersyukurlah karena kamu pernah
menjadi bagian di dalamnya.”
Mughni : “Iya,
Gus.”
Gus Dur : “Kamu
mau tau rahasia hidup saya dalam memandang segala sesuatunya?”
Mughni : “Tentu,
Gus, saya ingin tau rahasia panjenengan.”
Gus Dur : “Dalam
memandang segala sesuatu, gunakanlah ‘mata’ Allah.”
Mughni : “Waduh.
Bagaimana contohnya?”
Gus Dur : “Contohnya
begini. Ketika saya didatangi banyak orang yang meminta perlindungan, apakah
orang itu benar atau salah, saya terima semuanya dengan lapang dada. Karena
apa? Saya selalu yakin, Allah lah yang menggerakan hati mereka untuk datang
kepada saya. Jika saya tolak karena mereka bersalah, itu sama saja saya menolak
kehendak Allah. Perlindungan saya kepada orang-orang yang disudutkan karena
kesalahannya itu, bukanlah bentuk bahwa saya melindungi kesalahannya, tapi saya
melindungi kemanusiaannya.”
Mughni : “Duh..”
Gus Dur : “Lebih
jauhnya begini. Jika kamu membenci orang karena dia tidak bisa membaca
al-Qur’an, berarti yang kamu pertuhankan itu bukan Allah, tapi al-Qur’an. Jika
kamu memusuhi orang yang berbeda Agama dengan kamu, berarti yang kamu pertuhankan
itu bukan Allah, tapi Agama. Jika kamu menjauhi orang yang melanggar moral,
berarti yang kamu pertuhankan bukan Allah, tapi moral. Pertuhankanlah Allah,
bukan yang lainnya. Dan pembuktian bahwa kamu mempertuhankan Allah, kamu harus
menerima semua makhluk. Karena begitulah Allah.”
Mughni : “Ya
Allah..”
Sebelum dialog itu
berlanjut, kawanku membangunkan untuk mengajak kuliah. Ketika bangun tidur,
perutku lapar sekali. Mungkin karena dalam mimpi, aku dan Gus Dur tak makan dan
minum di warung nasi itu, tapi hanya berbincang.
(Haul Gus Dur yang
ke-6) Desember. 29.2015
Oleh: Sanghyang
Mughni Pancaniti

Post a Comment Blogger Facebook