Dulu, pada 19 Januari 1914 ada seorang
ulama di Jakarta yang meninggal dunia. Sekitar 10 ribu orang
berdesak-desakkan turut mengantarkan jenazahnya untuk dimakamkan di
pekuburan Tanah Abang. Banyak diantara mereka yang bersedih dan
menangis. Para ulama dan habib sibuk membacakan zikir dan doa mengiringi
jenazah sampai ke tempatnya. Bahkan, hampir semua pejabat kolonial
Belanda di Batavia turut serta menghadiri proses pemakamannya.
Ulama itu bernama Habib Utsman bin
Yahya. Orang mengenalnya dengan sebutan Mufti Betawi. Dalam sejarah
Islam di Jakarta, terutama pada abad ke-19, nama ini pasti muncul dan
menjadi rujukan. Ia dikenal sebagai penulis Kitab Sifat Dua Puluh; kitab
pengajaran tentang siaft-sifat Tuhan dalam teologi Islam. Ia juga
dikenal karena kritiknya terhadap budaya dan perilaku masyarakat yang
tidak sesuai dengan syariat dan kepercayaan Islam. Habib Utsman bahkan
menjadi guru dari hampir seluruh ulama di Jakarta. Di antara mereka
adalah Habib Ali Al-Attas (Kwitang) dan Guru Mughni.
Namun, ulama ini juga dianggap sangat
kontroversial. Azyamurdi Azra yang melakukan studi terhadapnya
mengatakan bahwa di antara ulama Hadrami, Habib Utsmanlah yang sangat
kontroversial. Mengapa? Karena ia dianggap telah bekerja sama dengan
pemerintah kolonial Belanda. Data sejarah menyebutkan, Habib Utsman
pernah bekerja sama dengan Snouck Hurgronje. Ia juga pernah mengkritik
jihad terhadap pihak Belanda oleh petani Banten 1888. Bahkan, ia sendiri
pernah membacakan doa untuk Ratu Belanda di masjid.
Sebagai ulama dari Hadramaut, Habib
Utsman tidak datang langsung dari sana. Ia dilahirkan di Jakarta pada
1822. Ayahnya, Abdullah, adalah menantu dari ulama terkemuka pada masa
itu, Syekh Abdurrahman al-Mishri. Menurut sejarah, al-Mishri, Syekh
Abdus Shamad al-Falimbani, dan Syekh al-Banjari adalah tiga sekawan
selama dan sesudah perjalanan intelektual mereka di Timur Tengah.
Sebagai cucu dari ulama terkemuka, Habib
Ustman mendapat pelajaran penting, baik dalam bidang hukum, sejarah,
etika, bahkan astronomi. Kakeknya, al-Mishri, memang dikenal sebagai
ahli astronomi (ilmu falak) bersama al-Banjari. Nama terakhir pernah
menulis satu buku tentang kesalahan arah kiblat masjid-masjid di
Jakarta. Bahkan, al-Mishri pernah memperbaiki arah kiblat Masjid Agung
Palembang.
Seperti orang lain, Habib Utsman juga
berangkat ke Timur Tengah untuk menimba ilmu. Ia sempat berguru kepada
Syekh Ahmad Zaini Dahlan, seorang mufti Mazhab Syafi’I di Kota Makkah.
Di Hadramaut, ia juga berguru kepada banyak habib. Salah satunya adalah
Habib Abdullah bin Husein bin Thahir yang juga menjadi guru dari Syekh
Nawawi Banten. Bukan hanya itu, sebuah buku biografi tentang Habib
Utsman, Suluh Zaman, bahkan menjelaskan perjalanan intelektualnya ke Mesir, Tunisia, Maroko dan Turki.
Habib Utsman banyak meninggalkan karya
tulis dalam berbagai bidang. Dalam catatan perpustakaan negara kita,
karya tulis Habib Utsman berkisar tentang masalah hukum agama, etika,
sejarah, bahasa, teologi, sosial keagamaan, dan sebagainya. Ini menjadi
bukti betapa tokoh ini menjadi sangat penting dalam kajian sejarah
sosial-intelektual Islam di Indonesia. Bukunya al-Qawanin al-Syar’iyyah
masih menjadi rujukan dalam sistem peradilan agama di Indonesia,
setidaknya sampai 1950-an. Lebih dari itu, mesin cetak litografis
miliknya adalah yang pertama di Indonesia dan menjadi pilar penyebaran
intelektual di masyarakat nusantara.
Habib Utsman memang ulama yang sangat
kontroversial. Ia dipuji sekaligus dikecam. Dipuji karena konsekuensinya
dalam mengecam tradisi bid’ah dan karafat, tetapi dikecam karena
keterlibatannya dengan pemerintah kolonial. Keulamannya juga diakui
semua kalangan, walaupun tidak jarang banyak tudingan miring diarahkan
kepadanya.
Kontroversi terhadapnya semakin jelas
ketika ia mendapat gelar dan medali penghormatan dari pemerintah
kolonial. Ia dituduh sebagai kaki tangan dan mata-mata Belanda.
Karya-karyanya dibeli dan disebarluaskan untuk mendukung status quo
pemerintah. Ia bahkan hadir di suatu perayaan pejabat Belanda dan pernah
membacakan doa keselamatan untuk Ratu Belanda. Tapi, betulkah sikap
akomodatif ini menunjukkan pengkhianatan Habib Utsman?
Kita perlu bertanya mengapa sayyid atau
Habib Utsman tidak setuju terhadap upaya Kaum Muslim melakukan jihad
terhadap pemerintah Belanda. Azyumardi Azra mensinyalirnya dengan
mengatakan sikap akomodasionis Habib Utsman tersebut memiliki preseden
historis. Menurutnya, selain mendukung penguasa non-Muslim di tanah
Muslim, orang-orang Hadramaut di Hindia Belanda juga cenderung
mengabaikan penindasan Belanda kepada Kaum Muslim pribumi sepanjang
kepentingan mereka tidak dalam bahaya.
Sikap seperti ini juga dimiliki Sayyid
Utsman, terutama karena dia adalah seorang ulama yang lebih berorientasi
syariat. Sayyid Utsman tidak henti-hentinya menunjukkan bahwa orang
mungkin tetap setia kepada Pemerintah Eropa di nusantara sambil
menjalankan ibadah agama Islam. Harapan untuk melaksanakan ibadah dengan
damai bagi anak-anak negeri tampak dari pernyataan Sayyid Utsman
terhadap pemerintah yang telah mengangkat dan memberikan gaji kepada
para hakim agama.
Sayyid Utsman juga sangat menaruh
harapan kepada pemerintah Belanda untuk tetap tidak mencampuri urusan
dalam agama Islam, terutama tidak mencegah orang Islam melakukan ajaran
agamanya.

Post a Comment Blogger Facebook