Kalau ada kitab tua sedang dibaca lansia berpakaian santri di Jakarta, maka kitab itu tidak lain adalah karya Sayid Usman bin Yahya. Karya-karya Sayid Usman sangat populer di kalangan masyarakat Jakarta. Karya yang mengajarkan doa, fiqih, tajwid, dan juga aqidah, menjadi panduan praktis pengamalan agama Islam untuk masyarakat.
Karyanya
yang dicetak dan beredar di kalangan masyarakat luas, umumnya berbahasa
Arab Melayu atau Arab Pegon. Doa-doa dan kutipan berbahasa Arab juga
umumnya diterjemahkan dengan terjemahan gantung yang juga berbahasa Arab
Melayu.
“Sayid Usman itu orang alim. Kalau dia menulis kitab Sifat Dua Puluh
itu, tentunya dia sudah membaca kitab-kitab yang besar-besar. Untuk
mengajarkan kitab-kitabnya, seorang guru pun harus juga sudah membaca
atau mengaji kepada guru-guru yang lebih alim,” kata KH Hasbullah (87)
Pondok Pinang, Kebayoran Lama.
Awal Desember 1822 M, Sayid Usman
lahir di Pekojan. Ayahnya bernama Sayid Abdullah bin Aqil bin Umar bin
Yahya. Ibunya bernama Aminah binti Syekh Abdurrahman Al-Mishri yang
tidak lain salah seorang ulama terkemuka di zamannya. Sejak kecil ia
gemar menuntut ilmu. Menginjak usia remaja, ia menunaikan ibadah haji di
Mekkah lalu bertahan di sana selama 7 tahun. Di sana ia mengaji kepada
ayahnya sendiri dan mufti Mekkah bermadzhab Syafi’i Sayid Ahmad Zaini
Dahlan.
Pada 1848 M Sayid Usman bergerak menuju Hadhramaut. Di
negeri ini ia berguru kepada Habib Abdullah bin Umar bin Yahya, Habib
Hasan bin Shaleh Al-Bahar, Syekh Abdullah bin Husein bin Thahir, dan
Habib Alwi bin Saggaf Al-Jufri. Lepas dari Hadhramaut, ia melanglang
buana mengejar ilmu ke sejumlah negeri. Sayid Usman mengunjungi antara
lain Mesir, Tunis, Istambul, Persia, dan Syiria, (Ulama Betawi, Studi Tentang Jaringan Ulama Betawi dan Kontribusinya terhadap Perkembangan Islam Abad ke-19 dan 20, Ahmad Fadli HS).
Pada
1862 M, Sayid Usman tiba di tanah air. Belanda mengangkatnya sebagai
mufti di Jakarta, menggantikan Syekh Abdul Ghani yang usianya semakin
lanjut. Kecuali itu, ia diangkat Belanda sebagai adviseur honorer untuk urusan Arab di kantor Voor Inlandsche Zaken
pada 1899 M. Di sini ia sebagai penasihat pemerintah Kolonial untuk
urusan agama, bergaul dengan Snouck Hurgronye, KF Holle, dan LWC Van den
Berg.
Atas jasanya, pemerintah kolonial Belanda menyematkan
bintang penghargaan sebagai tanda jasa pemerintah terhadapnya. Sayid
Usman juga mendapat honor bulanan sebesar 100 gulden, hanya 1/7 dari
gaji yang diterima Snouck.
Selama hidup, Sayid Usman aktif
berdakwah melalui media ceramah dan menulis. Ia membuka majelis hadir di
kediamannya di bilangan Petamburan. Sementara produktivitasnya tidak
perlu disangkal. Karyanya banyak sekali dicetak dan menjadi rujukan
Bergama masyarakat Jakarta karena menggunakan bahasa masyarakat, Arab
Melayu.
Kecuali itu, Sayid Usman tidak jarang terlibat polemik
terbuka dengan ulama lain misalnya dengan Syekh Ahmad Khatib Minangkabau
perihal dua masjid di Palembang. Polemiknya diwujudkan dalam bentuk
sebuah karya untuk menjawab atau mementahkan pandangan ulama lain dengan
dasar argumentasi yang kuat.
Sayid Usman sendiri dikenal sebagai
seorang faqih dan mutakallim yang memandang segala sesuatunya dari
sudut disiplin Fiqih dan Ilmu Kalam. Untuk itu, sikapnya terhadap
tarekat cenderung ketat. Ia hanya mengakui tarekat-tarekat muktabarah
yang sesuai syariah saja seperti tarekat yang diajarkan Syekh Junaid
Al-Baghdadi, Sadatul Alawiyin, Ghazaliyah, Qadiriyah, Naqshabandiyah,
Khalwatiyah, juga Rifa’iyah.
Menyadari rendahnya pemahaman agama
umumnya masyarakat, Sayid Usman melarang pelajaran taswuf di kalangan
awam. Pasalnya dapat membawa kemudaratan atau salah paham. Begitu juga
dengan ilmu Kalam. Dengan mengutip Az-Zawajir karya Ibnu Hajar, Ia dalam Sifat Dua Puluh-nya melarang keras orang belajar ilmu Kalam terlampau tinggi karena khawatir tergelincir paham.
Namun
demikian Sayid Usman mengambil sikap penolakan nyata terhadap paham
Wahabi dan penyebaran pahamnya. Menurut Fadli HS, Sayid Usman juga
sangat anti gerakan Wahabi dan menganggap gerakan itu sangat radikal.
Dalam bukunya Mustika Pengaruh buat Menyembuhkan Penyakit Keliru, ia berpendapat bahwa kaum Wahabi adalah paling berdusta.
Sayid
Usman sangat berjasa dalam peningkatan pemahaman masyarakat Betawi
khususnya terhadap ilmu syariah melalui karya tulisnya yang berbahasa
Arab Melayu. Tidak kurang dari 120 karyanya dicetak dan disebarluaskan.
Sebagian darinya berbahasa Arab. Karyanya menyentuh pelbagai isu yang
berkembang di masyarakat mulai dari kisah Rasul, aqidah, fiqih haji,
fiqih sembahyang, adab di rumah tangga, kumpulan doa keseharian, tajwid,
gramatika, Falak, kamus, geografi, silsilah para nabi, hukum
perkawinan, silsilah Alawiyah, tarekat-tarekat muktabarah, dan isu
lainnya.
Karyanya seperti Sifat Dua Puluh, Babul Minan, Maslakul Akhyar, Irsyadul Anam hingga kini masih dibaca oleh para orang tua di Jakarta. Bahkan kitab Zuhral Basim
yang memuat kisah hidup Nabi Muhammad SAW hingga dibaca setiap kali
peringatan maulid atau Isra di langgar-langgar di Jakarta. Muridnya yang
kemudian menjadi ulama besar ialah Guru Mughni Kuningan dan Habib Ali
al-Habsyi Kwitang.
Sayid Usman dipanggil Allah pada pertengahan
Januari 1914 M dan dikebumikan di TPU Karet. Pada masa Orde Baru
makamnya kena gusur. Pihak kerabat memindahkannya ke sisi selatan masjid
Al-Abidin, Sawah Barat, Pondok Bambu, Jakarta Timur. (Alhafiz Kurniawan)
*) Tulisan ini diambil dari buku 100 Ulama Nusantara terbitan Lembaga Takmir Masjid PBNU, tahun 2015.
*) nu.or.id

Post a Comment Blogger Facebook