![]() |
| Kiai Said berpotret bersama duta-duta besar Uni Eropa |
Sejumlah
28 Duta Besar negara Eropa bertemu dengan PBNU di Jakarta Selasa pagi (15/11).
Perwakilan negara-negara tersebut menanyakan pandangan NU tentang radikalisme
agama, kondisi Indonesia terkini dan ke depan.
Pertanyaan
tersebut dijawab Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj didampingi Ketua PBNU H
Marsudi Syuhud, Wakil Sekretaris Jenderal PBNU H Imam Pituduh dan Ketua Umum
Pimpinan Pusat Fatayat NU Anggia Ermarini.
Ditemui
di gedung PBNU, H.Marsudi Syuhud menceritakan, Kiai Said memulai dengan
menjelaskan posisi Islam Nusantara. Tokoh-tokoh pendiri republik ini, di
antraranya dari NU. Kiai-kiai NU yang yanng dimotori Hadrotussyekh KH Hasyim
Asy’ari mampu menyatukan antara keagamaan (Islam) dan nasionalisme serta
mengintegrasikan nilai agama dengan kultur nasional.
Pada
pendirian republik ini, kiai-kiai NU menyepakati negara Indonesia berlandaskan
pada Pancasila yang diambil dari budaya dan spirit agama. Kebangasaan yang
dibangun ini sudah final untuk mengakomodasi keanekaregaman identitas
Indonesia.
“Adanya
keragaman tersebut adalah sunatullah Allah taala. Jika Allah mengehendaki di
dunia ini satu umat, maka Allah pasti bisa. Jadi, kebhinekaan ini sudah fakta
dari Allah yang harus dirawat,” kata Marsudi menirukan Kiai Said.
Lebih
lanjut, Marsudi menceritakan, hubungan agama dan nasionalisme yang menyatu
tersebut diilhami dari kitab yang biasa dipelajari di pesantren-pesantren NU,
yaitu Ihya Ulumuddin karya Imam Ghazali.
Di
dalam kitab tersebut disebutkan, pemerintahan dan agama seperti dua sisi mata
uang. Agama adalah pondasi. Sesuatu yang tidak ada pondasinya, maka akan roboh.
Sementara pemerintahan adalah penjaga pondasi tersebut. Sesuatu yang tidak ada
penjaganya, maka akan hilang.
Pertanyaan
Duta Besar Uni Eropa selanjutnya adalah apakah kira-kira semua orang Indonesia
seperti pemahaman orang NU?
Menurut
Kiai Said, pada awal-awal pendirian republik, semua orang Indonesia bisa
dikatakan sepaham dengan ide tersebut. Namun sekarang tidak lagi karena ada paham-paham
pendatang baru. Mereka tidak tidak kenal susahnya perjuangan mendirikan
republik ini. “Maka otaknya ingin mengubah dasar negara ini.”
Sementara
NU, mengadopsi kenegaraan Rasulullah yang membentuk negara Madinah. Bentuk
negara tersebut sangat menjamin kebinekaan. Di negara tersebut hidup bangsa
Yahudi, Nasrani, Majusi. Di Islam sendiri ada Ansor dan Muhajirin.
“Itu
diatur dalam undang-undang Sohifah Madaniyah. Program yang diutamakan adalah
taakhuh atau persaudaraan. Maka bagi NU kebhinekaan adalah niscaya dan harus
dijaga bersama.”
Situasi
hari ini
Duta
Besar Uni Eropa juga bertanya tentang protes besar-besar umat Islam pada 4
November lalu.
Pertanyaan
itu dijawab Kiai Said dengan mengatakan, warga Jakarta, umumnya bangsa
Indonesia, mempersoalkan gubernur Basuki Tjahaja Purnama tidak berawal dari
identitas keagamaan, muslim atau nonmuslim, tapi ketersinggungan atas ucapannya
yang menyinggung surat Al-Maidah ayat 51.
Gubernur
tersebut dikenal dengan penggunaaan bahasa yang kurang diterima di publik.
Rapat-rapat yang diunggah di media sosial dengan penggunaan kalimat yang tidak
mendidik apabila didengar anak-anak. Kurang menyejukkan sebagai pemimpin.
Dari
ungkakapan yang tidak diterima publik tersebut, ada pintu masuk yang besar,
yaitu ketika gubernur yang sering disapa Ahok tersebut menyinggung surat
Al-Maidah. Akhirnya, Ahok harus menghadapi persidangan di Bareskrim.
NU,
kata Kiai Said, menyikapi persoalan tersebut, jelas berpikir maslahat,
mendahulukan kemaslahatan daripada kemadaratan. Apa pun keputusan pengadilan
tersebut jika dipandang maslahat dan sesuai secara konstitusional yang berlaku,
NU akan mendukungnya. (Abdullah Alawi)
*) www.nu.or.id/post/read/72963/28-negara-eropa-tanya-nu-situasi-indonesia-terkini

Post a Comment Blogger Facebook