Kisah kelam berupa pembantaian Guru
Ngaji yang terjadi di beberapa kawasan di Jawa Timur, Jawa Tengah dan Jawa
Barat, menjadi catatan dalam historiografi pesantren. Kerusuhan awalnya,
terjadi di basis massa NU di Situbondo dan Tasikmalaya. Menjelang transisi
kekuasaan Soeharto, situasi politik memanas dan ekonomi tidak stabil. Pada
waktu itu, presiden Soeharto sedang gencar mengokohkan kekuasaannya, dengan
dukungan militer.
Situasi memanas di ujung timur Pulau
Jawa dan di kawasan selatan Jawa Barat. Pada 10 Oktober 1996, rakyat Situbondo
bergerak karena tidak puas dengan Saleh yang hanya dituntut lima tahun penjara.
Saleh dianggap menghina Islam, dan terlebih menyakiti hati dan menyinggung
warga Situbondo. Akibatnya parah, 56 gedung terbakar (24 di antaranya gereja)
dan beberapa korban meninggal.
Sementara di Tasikmalaya Jawa Barat,
kerusuhan meletus pada 26 Desember, yang berawal dari aksi pemukulan polisi
terhadap KH. Mahmud Farid. Kiai Mahmud merupakan guru ngaji di sebuah
pesantren. Dari kerusuhan ini, tercatat 70 bangunan rusak serta 107 kendaraan
terbakar dan empat korban meninggal dunia (D&R, Edisi 970125).
Mengapa ada istilah operasi Naga
Hijau? Dalam catatan Hamid Basyaib (2000: 42), Gus Dur mengungkap,
operasi-operasi yang dilancarkan untuk menyulut kerusuhan-kerusuhan tersebut,
dinamakan operasi Naga Hijau. Dalam konteks politik Indonesia, hijau dapat
bermakna TNI dan Islam. Bahkan, dalam konteks Operasi Naga Hijau, istilah ini
merujuk pada pandangan pihak militer terhadap kelompok Islam yang dianggap
'ekstrem'. Karena ekstrem, maka perlu dikikis dengan operasi khusus. Inilah
gagasan kontroversi yang dilontarkan Gus Dur, yang membuat heboh media
nasional.
Dari lontaran Gus Dur, bola isu
bergulir cepat. Pihak militer merasa tersinggung. Bahkan, beberapa pimpinan
organisasi Islam semisal ICMI, juga merasa tidak enak dengan isu spekulasi yang
dilontarkan Gus Dur. Bahkan, di beberapa daerah, Gus Dur sempat menyebut dalang
Operasi Naga Hijau dengan sebutan 'ES'. Kontan saja, media memuat berita
yang menyebut inisial ES dengan menebak-nebak tokoh yang tepat.
Beberapa wartawan menyebut Edi
Sudrajat, sedangkan yang lain menulis Eddy Sudjana. Ternyata, ini politik
bahasa yang dimainkan Gus Dur untuk mengacaukan opini, dengan menghantam
psikologi lawan politiknya. Gus Dur menggunakan media dan jaringan wartawan
untuk melontakrkan gagasan-gagasan yang membuat medan pertarungan bergeser,
dari pembantaian fisik menuju perdebatan gagasan.
Kemudian, Gus Dur memberikan
klarifikasi yang tidak terduga. Bahwa, ES yang dianggap Gus Dur sebagai dalang
Operasi Hijau bukanlah Edi Sudrajat, maupun Eggy Sujana, namun Eyang Soeharto.
Jurus-jurus Gus Dur sengaja mengacaukan medan persilatan politik.
Gus Dur dikepung Naga Hijau ketika
berusaha mempertahankan independensi Nahdlatul Ulama. Pada Mukmatar Cipasung
tahun 1994, Gus Dur seolah terjepit dalam kepungan politik Soeharto. Presiden
Soeharto datang ke arena muktamar dengan pengawalan ketat militer. Sebagai
'lawan' penguasa Orde Baru, Gus Dur diintai oleh kaki tangan presiden, yang
berusaha merebut NU dari kendali kiai.
Dalam upacara pembukaan Muktamar,
Gus Dur duduk di belakang, jauh dari panggung utama dan tempat duduk VIP.
Padahal, Gus Dur menjadi Ketua Umum Tanfidziyah NU. Beberapa peserta muktamar
juga dikawal langsung oleh aparat militer, yang mendapat tugas khusus untuk
mengawasi pengurus-pengurus NU dari daerah, baik pada level cabang maupun
provinsi. Tujuannya, agar para pengurus NU memilih Abu Hasan yang dijagokan
Soeharto, daripada Gus Dur yang dianggap sebagai musuh pemerintah.
Imam Aziz, mengisahkan dalam buku Belajar
dari Kiai Sahal (hal.100-101), betapa Gus Dur dan Kiai Sahal sangat dekat
dalam pemikiran, namun sering berseberangan dalam prinsip memahami fenomena.
Gus Dur memainkan jurus cepat yang membuat musuh bingung untuk mengejar maupun
menghindar. Tidak jarang, Gus Dur juga menggunakan jurus mabuk, yang membuat
bingung musuh-musuhnya. Sementara, Kiai Sahal lebih hati-hati dalam bersikap
dan menentukan pilihan politiknya.
Mengenai Naga Hijau, Djohan Efendi
memberikan kesaksian tentang kerusuhan yang terjadi di Situbondo. Pada waktu
kerusuhan meletus, Djohan Efendi terjun langsung ke lokasi untuk memahami apa
yang terjadi. Djohan tidak percaya dengan laporan media maupun kasak-kusuk yang
ada di lingkaran pekerja informasi maupun elite politik. Djohan memilih
menyerap informasi langsung ke masyarakat.
Ketika mengunjungi Situbondo, Djohan
mendatangi Romo Beny yang menemani warganya ketika kerusuhan meletus. Djohan
juga mengunjungi Gereja Romo Beny yang hanya tinggal atap, terbakar ketika
terjadi kerusuhan. Dalam temuan Djohan Efendy, apa yang terjadi di Situbondo
bukan dilakukan oleh warga, namun dari pihak luar (Sang Pelintas Batas,
hal. 162).
Majalah D&R edisi No. 017, 12
Desember 1998, juga mencatat keterlibatan empat oknum anggota ABRI. Sayangnya
pihak ABRI membantah keterlibatan empat oknum tersebut. Melalui siaran pers
pada 10 Oktober 1998 bantahan itu dilakukan. Padahal Kepala Direktorat Reserse
Polda Jawa Timur telah memberi keterangan kepada pers pada 9 Oktober 1998
tentang penangkapan empat oknum ABRI.
Intinya, Operasi Naga Hijau menjadi
memori buruk bagi warga pesantren dan Nahdlatul Ulama. Munculnya Ninja-ninja
yang membantai guru ngaji, merupakan peristiwa kelam yang dikenang oleh
sebagian besar warga nahdliyyin. Istilah Naga Hijau sampai saat ini, masih
sangat sensitif, karena terkait dengan pembantaian besar-besaran. Di tengah
situasi demikian, kita teringat Gus Dur, bagaimana memainkan isu politik dan
kekerasan dengan cara-cara strategis untuk menyelesaikan masalah, bukan
memperkeruh suasana. []
Munawir Aziz, Wakil Sekretaris LTN Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU).
Sumber:
Ahmad Gaus AF. Sang Pelintas
Batas, Biografi Johan Effendi. Jakarta: ICRP & Kompas. 2009
Hamis Basyaib, Gitu Ajak Kok
Repot, Ger-Geran Gaya Gus Dur, 2000.
Henk Schulte Nordholt, Indonesia
in Search of Transition. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2002.
Kees van Dijk, Country in
Despair, Indonesia Between 1997 and 2000. Leiden: KITLV. 2001.
http://www.nu.or.id/post/read/75489/naga-hijau-yang-mengepung-gus-dur

Post a Comment Blogger Facebook