Sebelum
terjadinya tsunami, Abu Ibrahim yang pernah mengatakan: “Air laut bakal naik
sampai setinggi pohon kelapa.” Terbukti setelahnya terjadi bencana tsunami.
Tepatnya
15 hari sebelum bencana besar gempa bumi dan gelombang Tsunami melanda Aceh
pada 26 Desember 2004, Abu Ibrahim Woyla telah mengabarkan kepada muridnya yang
bernama Mukhlis perihal akan datangnya bencana besar itu. Namun, hanya kepada
dua muridnya yang kerap mengikutinya ia beritahukan dan ia melarang
memberitahukannya kepada orang lain.
Hanya saja
Mukhlis diperintahkan untuk segera mengajak keluarganya menjauhi bibir pantai.
Mukhlis, pria yang sudah berkepala tiga yang kini sering bermukim di Dayah
Bustanul Huda atau Dayah Pulo Ie, Desa Dayah Baro, Calang, menceritakan kembali
keseharian Abu sebelum Tsunami meluluhlantakkan Aceh.
Abu tidak
seperti hari-hari sebelumnya, ia sudah jarang makan dan terlihat gusar. Pernah
suatu waktu Mukhlis dipanggil oleh Abu untuk memberitahukan perihal bencana
besar. Saat itu, Mukhlis masih menuntut ilmu di Dayah Peulanteu, Aceh Barat.
“Rayeuk that buet uke nyoe, siberangkaso yang buka rahasia Allah maka kafee lah
jih kafee (besar sekali kerja ke depan, dan siapa saja yang membuka rahasia
Allah maka dia kafir),” begitu kata Mukhlis menirukan ucapan Abu Ibrahim
kepadanya.
Mukhlis
juga mendengar hal yang sama dari Abu Utsman yang masih ada hubungan dekat
dengan Abu Ibrahim Woyla. Bahkan kepada orangtuanya sendiri Mukhlis tidak
memberitahukan apa yang sudah ia ketahui. “Di lapangan Blang Bintang kapai akan
jipoe uroe malam, di laot Ulee Lheuh (tidak disebut Ulee Lheue) akan na kapai
laot ubee lapangan bola, dalam kapai nyan ureung puteh-puteh” (di Bandara Blang
Bintang pesawat akan terbang siang malam, di laut Ulee Lhee akan ada kapal laut
sebesar lapangan bola, di dalamnya orang putih-putih-red), ucap Mukhlis lagi
mengutip perkataan Abu Utsman.
Kata
Mukhlis, sejak kata-kata tersebut diucapkan oleh Abu Ibrahim, keseharian Abu
seperti berubah. Bahkan jika sedang tidur malam hari, sering Abu tiba-tiba
terbangun dan langsung duduk berdzikir. Melihat ini, perasaan Mukhlis pun
semakin cemas, dalam hatinya ia merasa kalau peristiwa besar sudah semakin
dekat. “Lon kalon dari sikap Abu, lon na firasat sang ata yang geupeugah le Abu
ka to that (Saya lihat sikap Abu, saya punya firasat bahwa apa yang dikatakan
Abu sudah sangat dekat),” jelas Mukhlis.
Entah apa
yang terpikirkan oleh Abu, 4 hari sebelum gempa bumi dan Tsunami di Aceh, Abu
Ibrahim mengajak Mukhlis ke Banda Aceh. Dengan mobil pinjaman, Mukhlis
menyupiri Abu hingga ke Banda Aceh. Di Banda Aceh, mereka menginap di salah
satu rumah di kawasan Blower. “Na geulakee le po rumoh beu geuteem eh Abu
meusimalam bak rumoh gob nyan (ada permintaan dari yang punya rumah agar Abu
Ibrahim berkenan bermalam semalam saja di rumahnya),” kata Mukhlis.
Mukhlis
menambahkan, saat di sana, sewaktu makan pun Abu tidak makan lagi, Abu mengepal
nasinya menjadi tiga bagian. Setelah Abu makan sedikit satu bagian dari kepalan
nasinya, kemudian seluruhnya Abu berikan kepadanya untuk dimakan.
Pada
esoknya, Kamis pagi 23 Desember 2006, Abu berkata kepada Mukhlis jika ia ingin
jalan-jalan keliling Kota Banda Aceh. Tanpa membantah, dengan mobil pinjamannya
Mukhlis pun membawa Abu jalan-jalan.
Setelah
sarapan alakadarnya di warung samping Simbun Sibreh (deretan Satnarkoba Polda
Aceh), lalu Abu meminta Mukhlis untuk membawanya ke kawasan Peulanggahan. Tiba
di depan mesjid Tgk Di Anjong, Abu minta mobil dihentikan di luar pagar masjid.
“Abu geu ngeing u arah makam Tgk Di Anjong, sang-sang Abu teungoh geupeugah
haba, kadang Abu teukhem keudroe” (Abu menatap ke arah makam Tgk Di Anjong,
seolah-olah Abu berbicara, sesekali Abu tersenyum sendiri), jelas Mukhlis.
Usai
singgah di makam Tgk Di Anjong, Peulanggahan, Kecamatan Kutaraja, Banda Aceh,
Abu melanjutkan perjalanan ke arah Gampong Jawa. Saat dalam perjalanan, ada
seorang wanita paruh baya yang mengenal Abu. Spontan wanita tersebut memanggil
Abu dan meminta Abu untuk singgah di rumahnya. Rombongan Abu Woyla kemudian
memenuhi permitaan dan singgah di rumah wanita tersebut.
Wanita
pemilik rumah itu, kata Mukhlis, menginginkan anaknya untuk minum air yang
dicelupkan dengan musabah Abu Ibrahim. “Sampai di rumah wanita tersebut, kami
disajikan kopi, tetapi airnya sangat panas hingga kami tidak sempat minum. Tapi
Abu langsung meminumnya walau airnya masih panas. Setelah itu Abu menyelupkan
musabahnya ke dalam air yang akan diberikan kepada anak wanita tersebut,” kata
Mukhlis.
Tak
beberapa lama di rumah wanita itu, Abu dan Mukhlis kemudian melanjutkan
perjalanan dari Gampong Jawa dan kembali ke arah Peunayong, seterusnya sampai
di depan RSUZA, Jalan T Nyak Arief. Di tempat itu Abu Ibrahim kemudian meminta
kepada Mukhlis untuk mengarahkan kenderaan mereka ke Masjid Raya Baiturrahman.
Dalam
sekejap saja, mobil yang dikendarai Mukhlis sudah berada di depan Mesjid Raya
Baiturrahman. Di sana mobil dihentikan sesuai permintaan Abu. Dari dalam mobil,
dengan kaca terbuka Abu menatap ke arah mesjid sembari melambaikan tangannya
dengan gerakan arah telapak tangannya ke bawah. “Berkali-kali Abu melakukan
itu,” ujar Mukhlis.
“Di akhir
Abu menggerakkan tangannya tiga kali menghadap masjid raya, seperti tanda
memotong sesuatu,” tiru Mukhlis dengan gerakan tangannya dari arah kiri ke
kanan.
Usai
perjalanan singkat tersebut, Abu langsung kembali ke tempat ia menginap dan
mengatakan kepada Mukhlis, jika Abu malam nanti akan berangkat ke Padang,
Sumatra Barat. Sebelum berangkat, Mukhlis memohon izin kepada Abu bahwa ia
tidak bisa menemani Abu ke Padang karena ia baru berkeluarga. “Menyoe meunan
Do’a bak lon” (kalau begitu doa dari saya), ujar Mukhlis mengulang perkataan
Abu kepadanya kala itu.
Dua hari
setelahnya, Tsunami meluluhlantakkan Aceh begitu dahsyatnya. Namun kata Mukhlis,
gelombang Tsunami yang datang pada 26 Desember 2004 lalu itu, sepertinya
berhenti di seputaran kawasan Abu Ibrahim Woyla jalan-jalan di Banda Aceh
sebelum Tsunami itu terjadi.
Setelah
itu, Mukhlis pun tidak lagi mengetahui kegiatan Abu hingga gempa bumi dan
Tsunami melanda Aceh. Baru pada hari keempat setelah kejadian yang menewaskan
ratusan ribu umat manusia itu, Mukhlis bertemu kembali dengan Abu di salah satu
rumah di kawasan Geuceu Komplek, Banda Aceh.
Setelah
bertemu di sana, pada sore hari Abu mengajak Mukhlis jalan-jalan ke Lhoknga.
Kembali Mukhlis meminjam sebuah mobil milik kerabatnya yang juga mengenal Abu
Ibrahim Woyla. Setibanya di kawasan Peukan Bada, Mukhlis melihat tumpukan
sampah Tsunami yang belum dibersihkan dan masih ada mayat-mayat bergeletakan di
sekitar mereka.
Melihat
kondisi medan yang tidak mungkin dilewati, Mukhlis mengadu kepada Abu jika
tidak mungkin mobil melewati jalan, karena masih banyak puing Tsunami dan benda
tajam lain yang menghambat laju kenderaan mereka. “Hana peu-peu, tajak laju”
(tidak masalah, jalan saja), begitu kata Abu ujar Mukhlis saat ia mengadu.
Mendengar
kata Abu, Mukhlis pun terus mengendarai kendaraannya melewati puing Tsunami
yang logikanya tidak mungkin dilewati oleh kendaraan. Mereka terus berjalan
hingga ke jembatan yang terputus di kawasan Lhoknga, Aceh Besar.
Setiba di
sana, mereka berjumpa dengan seorang wanita yang mengenal sosok Abu Ibrahim
Woyla. Wanita itu menceritakan, dalam musibah itu suaminya menjadi korban dan
sampai hari keempat setelah Tsunami ia belum bertemu dan mengetahui nasib
suaminya itu. Lantas wanita itu meminta Mukhlis untuk menanyakan kepada Abu
Ibrahim, bagaimana perihal nasib suaminya yang diseret arus Tsunami.
Melalui
Mukhlis, Abu menjawab singkat pertanyaan wanita tersebut: “Suaminya sedang
jalan-jalan jauh.” Di tempat itu, Abu Ibrahim bersama Mukhlis berada hingga
langit mulai merah dan matahari akan tenggelam.
Kini,
Mukhlis dengan beberapa rekannya hanya mengurusi dan membangun Dayah Bustanul
Huda Gampong Dayah Baro di Kabupaten Aceh Jaya.
Penuturan
lelaki ramah dan berilmu agama ini, Dayah tempat dirinya dan santri lain
memperdalam ilmu Islam sekarang ini, dibagun pada tahun 2006 silam. Dan pesan
Abu Ibrahim Woyla semasa hidupnya adalah: “Amanah Abu, bek meulake bak gop keu
peudong dayah, peulaku ubee sangguop” (Amanah Abu, jangan meminta-minta untuk
mendirikan dayah, kerjakan sesuai kesanggupan), tegas Mukhlis menirukan ucapan
Abu.
Allahuma
sholi 'ala sayidina Muhammad nabiyil umiyi wa 'ala 'alihi wa shohbihi wa salim.

Post a Comment Blogger Facebook