Di awal kemerdekaan Indonesia tidak ada dan tidak memiliki
tentara. Baru dua bulan kemudian diadakan tentara, tepatnya pada tanggal 5
Oktober 1945 dibentuk Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Ini dokumen Negara.
Silakan dibaca di sekretariat Negara, di arsip nasional, ini semua ada. Nah,
dengan dibentuknya ini Negara Indonesia sudah punya tentara.
Tanggal 10 Oktober diumumkanlah jumlah Tentara Keamanan Rakyat di Jawa, belum Sumatra dan daerah lainnya, ternyata ada 10 divisi. Satu divisi isinya 10.000 prajurit, terdiri dari 3 resimen dan 15 batalyon. Artinya 10 divisi TKR jumlahnya 100.000 pasukan. Itu TKR pertama, yang kemudian menjadi cikal-bakal TNI.
Dari pernyataan data TKR yang dikeluarkan pemerintah tanggal 10
Oktober 1945 kita tahu bahwa komandan divisi pertama TKR itu adalah Kolonel KH.
Sam’un, kiai pengasuh pesantren di Banten. Komandan divisi ketiga adalah
Kolonel KH. Arwiji Kartawinata, di Tasikmalaya, pangkatnya kolonel kiai haji.
Sampai tingkat resimen sama, resimen 17 dipimpin Letnan Kolonel KH. Iskandar
Idris. Resimen 8 dipimpin Letnan Kolonel KH. Yunus Anis. Pun dengan komandan
batalyon, Komandan Batalyon TKR Malang dipimpin Mayor KH. Iskandar Sulaiman.
Siapa Kiai Iskandar Sulaiman ini? Beliau saat itu jabatannya Rais Syuriah NU
Kabupaten Malang.
Terdiri dari para kiai, ini dokumen Negara, bukan ngarang.
Silakan dibaca di Arsip Nasional kemudian di Sekretariat Negara masih
tersimpan. Di pusat sejarah TNI ada semua. Bahkan untuk selanjutnya kita lihat
Komandan Divisi Pertama TKR Kolonel KH. Sam’un beliau ternyata pensiun Brigadir
Jendral. Jadi banyak kiai-kiai yang pensiun Brigadir Jendral. Ini sejarah yang
selama ini ditutup.
Termasuk KH. Hasyim Asy’ari dalam pemerintahan Presiden Soekarno
beliau sudah ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional. Tapi silakan dibaca
buku-buku sejarah anak-anak SD, SMP, SMA, ada tidak KH. Hasyim Asy’ari masuk di
buku pelajaran itu? Tidak ada, seolah-olah tak pernah ada jasanya dan bukan
pahlawan nasional. Jadi memang yang dari pesantren itu disingkirkan betul dari
Negara ini.
Nah, dari situ kita bisa tahu kenapa TKR waktu itu banyak
dipimpin para kiai, karena hanya para kiai dari pesantren dengan santri-santri
yang menjadi tentara itu adalah golongan dari elemen bangsa Indonesia yang mau
berjuang sebagai militer tanpa bayaran. Tentara saat itu tidak dibayar. Dibayar
dari mana, baru merdeka, duit tidak punya. Jadi, tentara itu baru menerima
bayaran tahun 1950. Selama 1945 sampai perjuangan 1950 itu tidak ada bayaran.
Dan yang mau melakukan itu hanya para kiai dengan tentara-tentara Hizbullah,
laskar-laskar itu tidak ada bayarannya, sampai sekarang. "NU itu punya
tentara swasta namanya Banser, ya tidak dibayar!" (hahaha… riuh hadirin
tertawa).
Itu fakta. Jadi nanti kita akan tahu bagaimana hingga terjadinya
pertempuran 10 November. 10 November ini satu peristiwa yang paling aneh dalam
sejarah. Kenapa? Pertempuran besar yang terjadi setelah perang selesai. Jadi
Perang Dunia itu selesai 15 Agustus. Ketika Jepang menyerah itu Perang Dunia
Kedua dinyatakan selesai. Tidak ada lagi perang. Pasukan Inggris ditugasi
mengangkuti interniran dan tawanan Jepang. Tawanan militer yang diangkuti,
tugas utamanya itu. Jangan sampai tawanan-tawanan ini menghadapi amuk massa,
diserang massa, dibunuhi massa. Ini berbahaya sehingga harus diangkuti.
Bagaimana bisa terjadi perang besar 10 November padahal sudah
tidak ada perang? Nah ternyata sebelum pertempuran 10 November ada perang 4
hari di Surabaya, tanggal 26, 27, 28 dan 29 Oktober 1945. Bagaimana bisa
terjadi perang 4 hari di Surabaya? Karena sebelum tanggal 26, yakni tanggal 22
Oktober ada Fatwa dan Resolusi Jihad dari PBNU, itu yang menyebabkan Surabaya
bergolak. Jadi tentara Inggris sendiri aslinya tidak pernah berpikir akan
perang dan bertempur dengan penduduk Surabaya, karena perang telah usai. Tapi
karena masyarakat Surabaya terpengaruh Fatwa dan Resolusi Jihad, mereka pun
siap menyerang Inggris, yang waktu itu mendarat di Surabaya. Ini sejarah yang
selama ini ditutupi.
Justeru karena dengan sejarah yang ditutupi, tidak mengakui
Fatwa dan Resolusi Jihad dan tidak mengakui ada perang 4 hari di Surabaya,
orang yang membaca sekilas peristiwa 10 November akan menganggap tentara
Inggris tidak waras, untuk apa mengebomi kota Surabaya tanpa sebab? Namun jika
melihat rangkaian ini baru masuk akal, mereka marah karena jendralnya terbunuh,
pasukannya dibunuh bonek-bonek Suroboyo. (hahaha... audiens ngakak).
Kenapa harus ada Fatwa dan Resolusi Jihad? Karena Presiden
Soekarno meminta fatwa kepada PBNU, Mbah Hasyim, "Apa yang harus dilakukan
warga Negara Indonesia kalo diserang musuh? Karena Belanda ingin kembali
menguasai Indonesia." Disitulah Bung Karno juga menyatakan bagaimana
caranya supaya Negara Indonesia diakui oleh Negara di dunia, karena sejak
diproklamasikan 17 Agustus dan Negara dibentuk 18 Agustus tidak ada satupun
Negara di dunia yang mau mengakui Indonesia. Karena Negara Indonesia
diberitakan adalah Negara boneka bikinan Jepang, bukan atas kehendak rakyat;
"Negoro sing gak dibelani rakyat."
Itulah Fatwa dan Resolusi Jihad kemudian dimunculkan oleh PBNU.
Itulah yang akhirnya ketika Inggris datang tanggal 25 Oktober tidak
diperbolehkan masuk Surabaya, karena penduduk Surabaya sudah siap perang.
Ternyata sore harinya Gubernur Jawa Timur mempersilakan, "Silakan Inggris
masuk tapi di tempat yang secukupnya saja." Ditunjukkan beberapa lokasi,
kemudian masuk.
Tanggal 26 Oktober ternyata membangun pos-pos pertahanan
Inggris. Karung-karung pasir ditumpuk kemudian dikasih senapan mesin. Bikin
begitu, banyak. Lho ini apa maunya Inggris, padahal sudah tersebar isu Belanda
mau berkuasa dengan membonceng tentara Inggris.
Dengan munculnya pos-pos pertahanan tanggal 26 Oktober, sore
hari pos pertahanan itu diserang massa. Penduduk Surabaya dari kampung-kampung
keluar nawur pasukan Inggris. "Ayo tawuran, tawuran." Dan peristiwa
itu memang betul, para pelaku mengatakan, "Itu bukan perang, tapi itu
tawuran." Kenapa? Tidak ada komandanya, tidak ada yang memimpin. Pokoknya
orang-orang dengar, "Jihad... jihad… Mbah Hasyim... Mbah Hasyim…"
Sudah, keluar semua langsung tawur sambil teriak "Allahu akbar... Allahu
akbar!!!"
Jadi ini betul memang bukan perang, karena tidak ada
komandannya. Keluar dari kampung-kampung karena seruan jihad itu disiarkan
lewat langgar, masjid dan spiker-spiker, langsung jihad, tawur. Dan itu
berlangsung sampai 27 Oktober, besoknya, perang kembali. Tanggal 28 Oktober
yang namanya tentara terpengaruh bonek, ikut nawuri Inggris. Karena tentara itu
terlatih, langsung massa dipimpin.
Dalam pertempuran 28 Oktober ini 1000 lebih tentara Inggris mati
dibunuh. Tapi tentara tidak mau mengakui bahwa mereka tentara. Karena Indonesia
sudah merdeka tapi negara-negara belum ada yang mengakui, "mosok tentara
wes mateni tentara Inggris, o itu urusan besar nanti". Itu ikhtiar
arek-arek Surabaya semuanya. Ya orang-orang Surabaya saja. Itu yang diteriakkan
selalu “Arek-arek Suroboyo”. Karena apa? Tentara tidak mau ikut campur di situ,
negara belum ada yang mengakui tapi sudah membunuh tentara Inggris.
Sampai tanggal 29 Oktober pertempuran itu masih berlangsung.
Disitulah pihak Inggris mendatangkan Presiden Soekarno dan Wakil Presiden
Mohammad Hatta, datang dan didamaikan. Tanggal 30 Oktober ditandatangani
kesepakatan damai, tidak tembak-menembak. Itu kan Gubernur Jawa Timur, pimpinan
Jawa Timur, yang tawuran rakyat, tidak ada hubungannya rakyat dengan gubernur.
Gubernur sudah tanda tangan, massa kampung-kampung tidak mau.
Tanggal 30 Oktober Brigadir Jendral Mallaby digranat/dibom arek
Suroboyo, mati seketika. Inggris ngamuk betul, "Maksudnya apa orang-orang
ini, perang sudah selesai, pasukan Inggris diserang, jendralnya dibunuh."
Panglima tertinggi Jendral Krestisten marah. Kemudian mengancam, “Kalau sampai
tanggal 9 November jam 6 sore pembunuhnya Mallaby tidak diserahkan, dan tanggal
itu orang-orang Surabaya yang masih memegang bedil, meriam dst. tidak
menyerahkan senjata kepada tentara Inggris, tanggal 10 November jam 6 pagi
Surabaya akan dibom-bardir!!!"
Darat, laut dan udara datanglah tujuh kapal perang. Langsung di
Pelabuhan Tanjung Perak meriam sudah diarahkan ke Surabaya. Dan kemudian meriam
howidser diturunkan dari kapal. Ini khusus untuk menghancurkan bangunan, dan
kemudian satu squadran pesawat tempur dan pesawat pengebom. Memang Surabaya mau
dihabisi karena Inggris marah.
Disitulah tanggal 9 November jam setengah empat sore setelah
Mbah Hasyim pulang dari Konferensi Masyumi di Jogja, karena beliau Ketua
Masyumi waktu itu, pulang ke Surabaya mendengar ancaman itu dan menyaksikan
sendiri bagaimana blockade mau menghancurkan Surabaya. Langsung Mbah Hasyim
menjawab dengan fatwa, "Fardhu ain bagi semua umat Islam yang berada dalam
jarak 94 Km dari kota Surabaya untuk membela kota Surabaya."
Ya, 94 Km itu jarak dibolehkannya shalat Qashar. Wilayah
Sidoarjo, Mojokerto, Malang, Pasuruan dan Jombang itu kan tidak sampai 90 Km,
datang semua. Kediri juga datang. Kita catat semua. Bahkan dari Lirboyo ini
dalam catatan dipimpin Kiai Mahrus Aly. Jadi seruan/fatwa itu langsung disambut
luar biasa. Bahkan Cirebon yang lebih dari 500 Km datang ke Surabaya.
Kemudian KH. Agus Sunyoto mengisahkan hiruk-pikuk pertempuran
mulai dari jumlah pasukan, jenis senjata, siapa saja yang ikut perang, termasuk
anak-anak kecil bahkan orang-orang dari lintas agama juga ikut perang. Orang
Konghucu, Kristen dan Budha semua ikut jihad. Selain menewaskan Jendral
Mallaby, pertempuran di Surabaya juga menewaskan seorang Brigadir Jendral
bernama Loder Saimen. Jadi peristiwa pertempuran Surabaya itu menewaskan dua
orang jendral Inggris.
(Ditranskrip oleh KH. M. Hariri Syuja' dari sebagian ceramah
Kiai Agus Sunyoto dalam acara bedah buku Fatwa dan Resolusi Jihad di Pondok
Pesantren Lirboyo Jum'at 3 November 2017. Selanjutnya silakan simak di
video Menguak Sejarah Hari Pahlawan, Fatwa & Resolusi Jihad - KH. Agus Sunyoto Lirboyo 2017: https://youtu.be/wvmMAuk6fLI).

Post a Comment Blogger Facebook