Oleh Darto Syaifudin
Cerita berawal dari profesi saya
sebagai penjual ayam, yang alhamdulillah lumayan sukses. Banyak
masyarakat Papua, baik pendatang maupun asli sana yang jadi pelanggan ayam
saya. Namun, dalam menyembelih ayam-ayam itu, mereka masih belum dikatakan
sempurna secara syar'i.
Dari situlah awal saya memberikan
sedikit demi sedikit arahan soal menyembelih hewan. Alhamdulillah banyak
yang meniru. Di Papua sini komunitas muslim sangat minoritas. Sebetulnya banyak
kelompok Islam baru yang bermunculan, namun berhaluan keras. Sehingga
masyarakat asli merasa terusik dan tentu tidak begitu tertarik atas kehadiran
mereka.
Karena itulah ketika kami membangun
Pondok Pesantren Madrasatul Qur'an (PPMQ) di Papua Barat, mereka mengira bahwa
kami sama dengan komunitas muslim garis keras yang tidak simpatik kepada orang
Papua dan juga adat Papua. Berkat pertolongan Allah, alhamdulillah
lama-kelamaan mereka mengetahui siapa kami dan bahkan mau belajar Al-Quran
kepada kami, yang hanya penjual ayam ini.
Saya tidak punya ilmu Al-Quran
sebaik dan sepandai sahabat-sahabat santri lain. Saya hanya bisa alif ba',
ta'. Namun semua aktivitas mengajar Qur'an kami lakukan dengan ikhlas,
sesuai nasihat Romo Kiai Yusuf Masyhar.
Awal berdiri, semua menolak
kehadiran PPMQ Al-Qalam. Bahkan dari pihak lintas gereja pun menolak keras
(maaf, saya ngetik ini sambil menangis karena ingat waktu itu). Majelis Rakyat
Papua juga menolak.
Kami dikepung. Tempat kami
dikelilingi pelbagai macam sajam, tombak, panah, parang dan lainnya, hendak
mengusir kami dari bumi Papua. Mereka pun merangsek masuk ke dalam pondok, ke
ruang utama. Di saat itulah mereka melihat logo NU, foto Gus Dur, Kalender
Tebuireng dan MQ, serta foto Mbah Hasyim dan lainnya.
Melihat semua itu, kepala suku besar
berteriak ke orang-orang sudah siap dengan senjatanya di luar pondok,
"Berhenti, kau punya pesantren ada hubungan apa dengan Tebuireng dan
foto-foto ini?". Saya hanya diam tidak menjawab. Kondisi saat itu
benar-benar mencekam.
Setelah itu, mereka meletakkan
senjata semua. Duduk dengan hormat mengikuti kepala suku besarnya. Mereka
berteriak, "Gus Dur... Gus Dur,.. kita punya orang tua... NU kita punya
saudara...". Ya Allah ya Rabb.
Lalu mereka berkata langsung ke
saya, "Pak ustadz, mulai detik ini kami yang menjaga pesantren ini, kami
yang jaga". Lalu mereka berteriak bersama-sama tanda mendukung.
Alhamdulillah sampai detik ini pesantren kita berdiri, dengan dukungan
mereka, sahabat kami semua, yang mengakui dan tunduk menghormati Gus Dur
sebagai orang tua. Masyaallah. Terimakasih kepada kepala suku, Gus Dur
dan NU.
Sahabatku semua, ini kisah nyata
yang kami alami di Papua Barat. Banyak yang belum saya ceritakan. Insyaallah
lain waktu saja. Doa, berkah, serta ridho guru-guru kita di pondok pesantren
sangatlah penting. Sekali lagi, berpeganglah pada Al-Quran dan berdakwalah
dengan akhlak yang sejuk. Semua akan membantu.
alumni Madrasatul Qur'an Tebuireng tahun 2000.
Sumber: http://www.dutaislam.com

Post a Comment Blogger Facebook