Hari ini, 530 tahun yang lalu. Muslim Spanyol di Granada
ketakutan. Terbayang apa yang akan terjadi sesaat lagi. Pasukan Salib yang
telah menaklukkan kota itu, pasti tidak membiarkan mereka hidup. Apalagi berita
kebengisan Pasukan Salib sudah menyebar dari mulut ke mulut. Mereka kerap
membantai kaum muslimin; tidak peduli muda atau tua, laki-laki atau wanita,
dewasa maupun remaja, bahkan balita.
Itulah yang mereka dengar, dan demikianlah faktanya. Pasukan
Salib seakan haus darah kaum muslimin. Ketika mereka memenangkan peperangan,
masjid-masjid pun digenangi darah kaum muslimin. Padahal kaum muslimin itu
bukan tentara. Rakyat sipil.
Namun perasaan takut kaum muslimin seketika bercampur dengan
kaget dan secercah harapan. “Wahai para muslim Granada, kalian boleh hidup aman
di luar Spanyol. Maka keluarlah kalian. Silahkan berlayar dan tinggalkan kota
ini!” demikian inti pengumuman yang dikeluarkan oleh Pasukan Salib.
Semula banyak
kaum muslimin yang ragu akan pengumuman itu. Namun keinginan mereka untuk hidup
dalam Islam mendorong mereka untuk keluar dari persembunyiannya. Mereka
berharap, meski terusir dari tanah air tanpa membawa apa-apa, mereka bisa hidup
bersama anak-anak yang akan meneruskan agama mulia. Satu per satu mereka keluar
menuju pelabuhan.
Memang benar.
Di pelabuhan sudah menanti kapal yang akan mengangkut mereka berlayar keluar
Spanyol. Ribuan muslim dalam kapal yang kebanyakan terdiri dari wanita dan
anak-anak itu mulai cerah wajahnya. Ada harapan hidup. Namun, harapan ini
segera sirna. Jerit histeris anak-anak memenuhi kapal. Tangis para wanita
muslimah melipatgandakan kesedihan yang bercampur takut, amarah, dan
kebingungan. Kapal itu dibakar! Dibakar oleh pasukan Salib. Ternyata semua
sudah direncanakan.
Maka bersamaan
dengan terbakarnya kapal, mulailah puing-puingnya jatuh memenuhi laut, wanita
dan anak-anak pun terpanggang. Tidak butuh waktu lama kapal itu segera
tenggelam. Mereka yang sempat selamat dari kobaran api dan hendak lari,
disambut dengan sabetan pedang pasukan Salib. Laut pun berubah warna menjadi
merah kehitam-hitaman. Menjadi saksi putusnya sebuah generasi muslim di
Andalusia, sebutan Spanyol waktu itu.
1 April 1487.
Hari itu kemudian dikenal dengan nama “The April Fool Day”. Seiring bergulirnya waktu, hari
itu disamarkan dan dikenang dengan sebutan April Mop. Demi mengabadikan kemenangan licik itu,
April Mop diperingati dengan “ritual” boleh mengerjai, menipu dan menjahili
orang lain pada tanggal ini. Dan orang yang dikerjai, tidak boleh marah.
Meskipun tidak
sepopuler Hari Valentin, April Mop ternyata juga banyak diikuti oleh remaja
Islam kita. Ia juga dirayakan oleh berbagai kalangan dengan “mengerjai” orang
lain, termasuk keluarga atau customer-nya.
Seperti kata
Ibnu Khaldun, bangsa yang dikalahkan banyak mengekor bangsa yang
mengalahkannya. Banyak hal dari luar Islam yang kini ditiru begitu saja oleh
umat Islam, khususnya para remajanya. Termasuk April Mop. Mereka tidak tahu,
saat mereka ikut-ikutan merayakan, sesungguhnya mereka tengah merayakan
pembantaian atas saudara-saudaranya; yang kebanyakan korbannya seusia ibu-ibu
kita. Merayakan April Mop berarti merayakan kekalahan kita, sekaligus merayakan
kemenangan musuh kita.
Rasulullah
bahkan memperingatkan bahwa setiap tradisi non muslim –khususnya yang berkaitan
dengan ritus- merupakan unsur magnetis yang membuat kita bisa terafiliasi dalam
hakikat entitas mereka. “Man tasyabbaha bi qaumin, fa huwa minhum” Siapa yang menyerupai suatu
kaum, maka termasuk golongan mereka. Maka apakah kau turut merayakan April Mop?
Semoga jawabannya tegas: “Tidak!”
Sumber: Tarbiyah.net
Sumber: fiqhmenjawab.net

Post a Comment Blogger Facebook